Jumat, 22 Agustus 2008

(Sebuah Ungkapan Dalam Bahasa Banjar)


“ILMU DENGARAN”

Ketika tahun 1987 saya duduk di bangku SMA kelas III A 1 (Program ilmu-ilmu Fisik), tepatnya di SMA Negeri Paringin saya diajarkan oleh guru saya tentang 3 motto belajar di program IPA, yaitu:
1. Aku mendengar aku lupa
2. Aku melihat aku ingat
3. Aku Mengerjakan aku mengerti
Hal itu dijelaskan oleh guru saya bahwa di dalam proses pembelajaran kalau hanya disajikan dalam bentuk ceramah saja maka siswa seringnya lupa terhadap konsep yang dijelaskan, sehingga perlu diberikan contoh-contoh konkrit berupa gambaran faktual, bisa dengan metode demonstrasi agar siswa bisa mengingat lebih banyak konsep yang dipelajari. Suatu ketika apabila siswa mampu mengerjakan sesuatu untuk mengaplikasikan ilmu yang telah dimilikinya berarti siswa tersebut mengerti.
Prinsip ini juga sejalan dengan pemikiran Dr. Vernon A. Magnesen dalam DePorter et al. (2005), yaitu:
Kita belajar:
10% dari apa yang kita baca
20% dari apa yang kita dengar
30% dari apa yang kita lihat
50% dari apa yang kita lihat dan dengar
70% dari apa yang kita katakan
90% dari apa yang kita katakan dan lakukan.
Terkait dengan sedikitnya konsep yang dapat kita serap/ingat melalui proses pendengaran ini kemungkinan bisa disebabkan karena lemahnya kemampuan kita untuk menyimak sebuah kata, sehingga terjadi kesalahan dalam memaknai sebuah kata, dan akhirnya juga akan menimbulkan sebuah cerita yang berbeda dengan konteks aslinya.
Ada satu ungkapan dalam bahasa banjar yang mengatakan “jangan memakai ilmu dengaran” artinya kita jangan membuat sebuah berita kalau hanya mendapatkan berita dari mendengar saja, takutnya salah.
Terkait dari “ilmu dengaran” ini saya menjadi tersenyum sendiri kalau ingat pengalaman saya waktu sekolah SD dari tahun 1975 s.d. tahun 1981.
Ceritanya begini, kami biasanya kalau mata pelajaran kesenian selalu diajak bernyanyi bersama oleh guru . Adapun lagu-lagu yang sering dinyanyikan adalah lagu Garuda Pancasila dan Halo-halo Bandung. Karena lagu ini mudah dinyanyikan iramanya dan kata-katanya tidak terlalu sulit untuk diingatkan. Kemudian kalau sudah 3 atau 4 kali dinyanyikan rame-rame biasanya guru kami meminta siswa untuk maju satu persatu bernyanyi ke depan. Kamipun maju dengan semangat patriot bernyanyi dengan menggunakan jurus ilmu dengaran tadi, sehingga semua yang maju akan menyanyikan lagu garuda pancasila pada bait terakhirnya seperti ini ....ribang-ribang sagu, ayo maju-maju, ayo maju-maju, ayo maju-maju. Jadi yang terpakai dari ilmu dengaran dengan kesalahan menyimak adalah pada kata ribang-ribang sagu, yang semestinya adalah Pribadi bangsaku.
Adapun lagu Halo-halo bandung yang kami salah menyimaknya pada bait terakhir juga, yaitu ...... maribung ribut kembali. Sedang yang benarnya adalah Mari bung rebut kembali.
Saya tahu salahnya kata-kata pada kedua lagu tersebut setelah kelas IV SD, dimana saya bernyanyi sambil membaca buku kumpulan lagu-lagu wajib Nasional. Betapa lucunya ingat pengalaman ini, karena kesalahan menyimak dari ilmu dengaran ini, sehingga terjadi kesalahan konsep bernyanyi. Semoga ini jangan sampai terulang pada anak-anakku generasi sekarang, tolong jangan salah menyimak kata dalam setiap lagu yang kita nyanyikan, kesalahan kata akan menimbulkan kesalahan arti.